Analisa: Perunggu di Cabang Sepak Bola SEA Games 2017, Tamparan Keras Untuk PSSI dan Regulasi 'Anehnya'
Ligaolahraga -- Analisa: Timnas Indonesia U-22 hanya mampu pulang membawa medali perunggu dari ajang SEA Games 2017 di Malaysia. Raihan tersebut melenceng dari target awal yang diusung yaitu mengulang kembali prestasi 1991 silam dengan membawa pulang medali emas.
Tanpa mengurangi rasa terimakasih terhadap perjuangan serta peluh dan keringat yang telah dikeluarkan seluruh tim sepanjang ajang dua tahunan tersebut, sesungguh pencapaian medali perunggu adalah tamparan keras untuk PSSI selaku induk organisasi sepakbola tanah air.
Tamparan keras, karena raihan medali perunggu bukanlah raihan terbaik Tim Garuda Muda di ajang SEA Games. Tamparan keras karena untuk sebuah medali perunggu PSSI sudah 'mengorbankan' kompetisi kasta tertinggi Tanah Air, yaitu Liga 1/2017 yang mewajibkan setiap tim memainkan tiga pemain U-22 di setiap pertandingan.
Apabila hanya untuk meraih perunggu, rasanya aturan 'nyeleneh' yang dibuat PSSI tersebut rasanya tidak terlalu diperlukan. Pasalnya, medali perunggu bukanlah prestasi tertinggi sepak bola Indonesia di ajang SEA Games, Tim Garuda bahkan pernah menyabet medali emas di tahun 1991. Selain itu, medali perak juga sudah pernah diraih, masing-masing pada tahun 1997, 2011, dan 2013. Sedangkan perunggu yang diraih pada SEA Games 2017 ini merupakan perunggu kedua Indonesia pada cabang sepak bola, setelah di tahun 1999 lalu Tim Garuda juga mampu meraih medali emas.
Untuk pembatasan usia SEA Games sendiri pertama kali dilakukan semenjak tahun 2001. Artinya, semenjak diberlakukan pemakaian pemain U-23 di SEA Games, Indonesia sudah dua kali merebut medali perak atau peringkat kedua, yaitu tahun 2011 dan 2013.
Sekarang yang jadi pertanyaan, apakah pada dua kesempatan PSSI kala itu 'merusak' kompetisi resmi dengan peraturan aneh bin ajaib seperti PSSI saat ini yang dengan sangat ngotot membuat regulasi pembatasan usia untuk Liga 1/2017, slogannya kala itu adalah demi emas SEA Games 2017 dan pembinaan usia muda.
Hal itu tentu jadi suatu hal yang lucu apabila melihat capaian Timnas Indonesia saat. Bagaimana tidak, dengan mengagung-agungkan pembinaan usia muda melalui kompetisi resmi, prestasi timnas justru lebih anjlok ketimbang yang dilakukan tanpa aturan-aturan 'nyeleneh'.
Nah, hal lain yang mungki harus dipertimbangkan PSSI dalam menetapkan kembali peraturan 'aneh' kewajiban memainkan pemain U-22 untuk setiap klub Liga 1/2017 adalah sumbangsih dari aturan tersebut terhadap Timnas Indonesia.
Kalau boleh jujur, tidak banyak pemain yang mengisi starting eleven lahir dari aturan 'aneh' kewajiban memainkan U-22 di Liga 1/2017. Hampir separu dari starting eleven Luis Milla di SEA Games 2017 bukanlah hasil dari regulasi pembatasan usia.
Hansamu Yama, Evan Dimas, Hargianto, I Putu Gede, Gavin Kwan, Septian David, dan Yabes Roni adalah pemain-pemain alumni Timnas Indonesia U-19 yang harus jujur diakui ditemukan oleh seorang Indra Sjafri.
Selain itu, Ezra Walian juga bukan hasil peraturan 'aneh' Liga 1/2017. Dia adalah pemain naturalisasi yang dibesarkan oleh akademi Ajax Amsterdam.
Untuk itu, yang menjadi pertanyaan bagi setiap pecinta sepak bola Tanah Air, benarkan diberlakukannya regulasi kewajiban menurunkan pemain U-22 bagi setiap klub kompetisi kasta tertinggi tanah air adalah untuk membangun timnas usia muda yang tangguh. Rasanya, hasil SEA Games 2017 sudah membuktikan kalau regulasi 'aneh' itu adalah sebuah kegagalan.
Atau regulasi memang diciptakan untuk memberikan keuntungan tidak langsung terhadap beberapa klub peserta Liga 1/2017?
Artikel Tag: Berita Sepak Bola Nasional, timnas indonesia u-22, Luis Milla, sea games 2017, Liga 1
Published by Ligaolahraga.com at https://www.ligaolahraga.com/bola/analisa-perunggu-di-cabang-sepak-bola-sea-games-2017-tamparan-keras-untuk-pssi-dan-regulasi-anehnya
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama berkomentar disini