Comeback Ke MMA, Francis Ngannou Cari Lebih Dari Sekadar Kemenangan
Pada usia 38 tahun, Francis Ngannou akan kembali ke dunia MMA untuk pertama kalinya sejak 2022. Lawannya, Renan Ferreira, adalah juara kelas berat PFL dan menjadi kekuatan yang berbahaya dalam divisi ini.
Ferreira, yang memiliki tinggi badan 6 kaki 8 inci, adalah seorang atlet eksplosif yang dikenal dengan selebrasi salto dan KO pada ronde pertama.
Ukuran dan kekuatannya yang besar membuatnya menjadi salah satu petarung yang paling ditakuti di PFL, dan laga yang dijuluki “Battle of the Giants” ini akan menjadi tantangan besar bagi Ngannou, mantan juara kelas berat UFC.
Namun bagi Francis Ngannou, laga ini lebih dari sekadar kemenangan.
Pada pagi yang berkabut di bulan Agustus, Ngannou berdiri di halaman belakang rumahnya yang berlantai tiga di Batié, Kamerun. Rumah dengan gerbang besi, lantai marmer dan kolam renang ini melambangkan perjalanan luar biasa yang membawanya dari kemiskinan menuju ketenaran global.
Ini sangat kontras dengan rumah bata lumpur tempat Ngannou dibesarkan, di mana ia biasa menyandarkan batang bambu di jendela untuk menjaga kehangatan selama musim hujan.
“Ini masih menjadi waktu favorit saya sepanjang tahun,” katanya, mengenang masa kecilnya. “Saat itu adalah musim panen, yang berarti kami tidak akan kelaparan.”
Kisah Francis Ngannou adalah kisah tentang ketekunan dan kelangsungan hidup. Pada usia 26 tahun, ia meninggalkan Kamerun untuk mengejar mimpi menjadi petinju profesional. Perjalanannya selama 14 bulan ke Eropa penuh dengan bahaya, termasuk beberapa kali mencoba menyeberangi Mediterania dengan rakit karet.
Dia akhirnya berhasil mencapai Paris, di mana dia diperkenalkan dengan MMA. Dalam waktu delapan tahun, ia menjadi juara kelas berat UFC, dan dalam dua tahun terakhir, ia menghasilkan jutaan dolar melalui pertandingan tinju melawan Tyson Fury dan Anthony Joshua.
Meskipun Ngannou telah berkali-kali membagikan kisahnya, kehadirannya secara fisik di desa tempat semuanya bermula membuat masa lalu menjadi lebih jelas. Lebih dari separuh penduduk Kamerun hidup dalam kemiskinan, dan tanah tempat rumahnya berdiri diklaim oleh kakeknya setelah Kamerun memperoleh kemerdekaan dari pemerintahan Prancis pada tahun 1960.
“Orang-orang di wilayah ini masih membangun dan memulai kembali,” kata Ngannou. “Hal yang baik adalah kami adalah pekerja keras.”
Kembalinya Francis Ngannou ke dalam dunia MMA lebih dari sekedar comeback. Lawannya, Ferreira, berusia 34 tahun dan telah mencetak KO atas empat lawan sebelumnya, tiga di antaranya pada ronde pertama. Ia adalah salah satu petarung paling eksplosif yang pernah ada dalam divisi ini, selain Ngannou sendiri.
Namun, pertarungan sesungguhnya bagi Francis Ngannou bukanlah melawan Ferreira. Itu adalah melawan kerugian besar yang dideritanya.
Pada bulan April, anak laki-laki Ngannou yang berusia 15 bulan, Kobe, meninggal dunia secara tiba-tiba karena kelainan pada otaknya. Kesedihan ini membuat Ngannou mempertanyakan segalanya, termasuk identitasnya sebagai seorang petarung.
“Saya tahu bahwa saya tidak sama dengan diri saya yang dulu,” akunya. “Sejujurnya, laga ini adalah cara bagi saya untuk benar-benar mencari tahu. Apakah saya masih petarung yang sama seperti dulu?”
Francis Ngannou telah dibentuk oleh rasa kehilangan sebelumnya. Ayahnya meninggal dunia saat Ngannou berusia 15 tahun. Mereka tidak terlalu dekat, namun kurangnya akses ke perawatan medis yang layak yang menyebabkan kematian ayahnya meninggalkan dampak yang sangat dalam bagi dirinya.
“Kulitnya meleleh, dan dia bahkan tidak bisa pergi ke rumah sakit,” kenang Ngannou. Ingatan akan penderitaan ayahnya mendorong Ngannou untuk mencari kehidupan yang membuatnya tidak merasa tidak berdaya lagi.
Setelah kematian ayahnya, Francis Ngannou berangkat ke Eropa, karena ia tahu bahwa itu mungkin adalah terakhir kalinya ia akan bertemu dengan keluarganya. Hanya butuh waktu dua tahun setelah tiba di Paris untuk menandatangani kontrak dengan UFC, dan memulai debutnya di Orlando, Florida, pada bulan Desember 2015.
Momen tersebut terasa seperti puncak dari sebuah mimpi, bukan hanya karena kesuksesannya di UFC, namun juga karena itu adalah kali pertama ia berada di Amerika. Ngannou selalu memimpikan AS sejak melihat Mike Tyson di televisi kecil saat masih kecil di Batié. “Saya selalu bermimpi tentang Amerika,” katanya.
“Dan ketika saya tiba di Orlando, ada seorang penyambut di bandara dengan sebuah tablet yang bertuliskan nama saya. Saya hanya ingat bahwa dua tahun sebelumnya saya memasuki Paris sebagai seorang imigran, dan kini, di Amerika, saya masuk di atas karpet merah.”
Karier UFC Francis Ngannou sangat luar biasa. Ia menjadi juara kelas berat UFC pada tahun 2021, dan pada tahun 2023, ia meninggalkan organisasi ini untuk bergabung dengan PFL. Hal ini memberinya kebebasan untuk mengejar pertandingan tinju terkenal melawan Fury dan Joshua.
Namun setelah kehilangan putranya, Ngannou mempertimbangkan untuk berhenti bertarung sama sekali. Tragedi tersebut membuatnya mempertanyakan nilai dari pencapaiannya.
“Saya berpikir mungkin saya harus berhenti sekarang,” kata Ngannou. “Namun, saya berpikir, apa yang akan menghormatinya? Apakah akan lebih baik jika ia menjadi alasan saya berhenti melakukan apa yang saya lakukan, atau apakah akan lebih baik jika ia menjadi tujuan dari semua itu?”
Pada akhirnya, Ngannou memutuskan untuk kembali ke dalam olahraga ini. Pertarungannya melawan Ferreira bukan hanya menjadi ujian bagi kemampuan fisiknya; ini adalah sebuah pencarian akan tujuan dan kesembuhan.
Walau Ngannou tidak yakin apakah anaknya akan menonton dari manapun ia berada, ia bertekad untuk tetap menjaga kenangan akan Kobe tetap hidup. “Saya hanya ingin membuatnya tetap hidup, Anda tahu? Namanya. Jangan lupakan dia secepat ini.” Menang atau kalah, bagi Ngannou, itulah pertarungan yang paling penting.
Artikel Tag: Francis Ngannou