Berita Atletik: Maraton Palestina Mencetuskan Maraknya Dorongan Untuk Gerakan Dibanding Politik
Ligaolahraga - berita atletik: Garis finis di perlombaan terbesar di West Bank menghadirkan jus jeruk perasan yang segar dan tumpukan kurma Jericho sebagai ganti Gatorade dan bingkisan Gu. Sekelompok pelari menari dengan alunan versi tekno lagu dari Justin Biebers dan Adele seiring dengna musik tradisional Arab, dan yang mencapai garis finis memakan falafel yang baru digoreng seiring mereka meregangkan tubuh di bawah sinar matahari di Manger Square.
Pemenang, Mervin Steenkamp, menebak waktu finisnya setelah selesai – tidak ada jam resmi di akhir – dan berparade di antara kerumunan seiring ia mengacungkan tanda perdamaian untuk para fotografer daripada satu jari yang biasanya diacungkan oleh pelari yang menyelesaikan pertama kali.
Pada Maraton Palestina tahunan yang keempat, berlari, politik, dan komunitas, menghasilkan percampuran akan tujuan dan kekuatan. Pelari yang serius marathon berbaur dengan anak-anak lokal yang memakai jeans dan kaos sementara pelari Eropa dengan spandex jogging melewati wanita-wanita Palestina dengan celana panjang dan penutup kepala cerah. Perlombaan tersebut, yang ditenggarai oleh komunitas lari global non profit, Right to Movement dan berdedikasi untuk “memberitahu cerita berbeda tentan Palestina” mewakili pernyataan politik model baru di daerah “yang telah menjadi sakit dalam jalan tradisional,” ujar Ramez Qonqar, pematung yang menginspirasi berusia 23 tahun yang berlari sepanjang 26,2 mil melewati kampung halamannya di Betlehem menandai maratonnya yang kedua. Dia berlari yang pertama kalinya di Irlandia Utara.
“Hal itu menghubungkan semua orang, dan kita bisa menceritakan kisah kita dengan berlari,” ujar Qonqar.
Lima tahun yang lalu, hampir tidak ada seorang pun mau berlari di lorong yang berkerikil di Betlehem atau berjogging di pembatas pemisah beton sepanjang 25 kaki yang memisahkan West Bank dari Israel lebih dari 300 mil. Di Palestina, sepak bola adalah nomor satu, ujar Qonqar, olahraga yang lainnya berada di urutan kedua. Tetapi tahun 2013, pembentukan Marathon Palestina mengubah daerah tersebut. Sekarang semua orang berlari, ujarnya, dengan harapan berkompetisi dalam marathon nasional untuk negara yang sering kali tidak dikenali.
Berpartisipasi dalam perlombaan tersebut adalah demonstrasi anti kekerasan, dan sebuah cara untuk memperlihatkan “Kami di sini, dan ini tanah kami, dan kami punya hak untuk bergerak,” ujar Ashraf Hamouda yang berusia 47 tahun.
“Dan itu adalah cara yang bagus untuk diperlihatkan karena perdamaiannya<” tambah anak perempuannya, Noor yang berusia 14 tahun.
Perlombaan perdananya mengikutsertakan kurang dari 700 pelari. Tahun ini, sebuah rekor, 4371 partisipan mengenakan kaos hijau, merah, hitam, dan putih, serta mengumpulkan trofi dai kayu olive setelah menyelesaikan bukit, jalur di kawasan perkotaan. Jumlah yang cukup besar untuk penunjung asing dan expatriat yang berpartisipasi, bersama dengan pelari Palestina dari Betlehem, Ramallah, dan kota lain di West Bank.
Bulan lalu, tambahan 750 permohonan dari Gaza Strip memohon untuk perizinan perjalanan keluar dari daerah laut dan melewati Israel untuk berpartisipasi. Ketika diminta untuk mengurangi partisipan dari Gaza, Right to Movement memasukkan sekitar 100 nama, tapi semua permohonan mereka ditolak oleh pemerintah Israel. Dalam sebuah posting, COGAT, kementrian pertahanan Israel tanggung jawab fisik untuk aktivitas di daerah Palestina, mengatakan bahwa penyelenggara marathon dengan sengaja menunda proses koordinasi untuk partisipan Gaza sebagai aksi kesengajaan untuk menyalahkan Israel karena mencegah partisipan ikut berlomba.
Pelari, seperti Inas Nofal, berusia 15 tahun berasal dari Maghazi Refugee Camp yang telah berlatih untuk berlari 10 km, dan Nader Al Masri, mantan atlit Olimpiade yang menang marathon tahun lalu, mendapatkan pemberitahuan dalam 24 jam bahwa mereka tidak bisa berkompetisi. Ia menangis dan mempertanyakan apa yang telah ia lakukan sampai ditolak, ujar pelatihnya. Noval sudah menginspirasi dengan menjadi wanita pertama dari Gaza yang memenangkan medali di Betlehem, tetapi malah menjadi sebuah anekdot untuk pesan perlombaan – Orang Palestina yang berusaha bergerak dari poin A ke poin B, tetapi terbatas karena kebijakan di daerah tersebut.
Perlombaan tersebut merupakan ilustrasi yang tepat karena penyebab perlombaan tersebut, ujar Stefan Wagler, pelari Jerman yang tinggal dan bekerja di Betlehem. Tidak ada tanah Palestina yang cukup untuk jalur yang layak tanpa mendaur ulang daerah., membuatnya mungkin menjadi satu-satunya perlombaan di dunia dengan jalur dengan pernyataan politik di dalamnya.
Rute maraton mengelilingi Betlehem empat kali. Di satu sisi, pelari dikelilingi oleh rumah yang terbengkalai dan pembatas pemisah beton yang bergrafiti di sisi lain.
Pemenang kedua untuk wanita, Fatima Aweist, berlatih dengan berjalan 2 mil setiap hari di timur Yerusalem, dengan lincah dan berlari ketika tepat. 13 anggota dari keluarga Aweist datang untuk berkompetisi dalam nomo 10K, setengah dari jarak maraton. Ketika saudara perempuan Aweist masih muda, berlari di depan umum tidak akan pernah diterima. Sekarang ini, orang-orang lebih terbuka, ujar Aweist. Maraton ini sangat membantu.
“Ini melelahkan,” ujarnya, dikelilingi keluarganya, yang memasuki Peace Center untuk menemukan tempat teduh karena temperatur naik. “Menyenangkan dan luar biasa,” tambahnya.
Artikel Tag: Maraton, Palestina, Right to Movement
Published by Ligaolahraga.com at https://www.ligaolahraga.com/olahraga-lain/berita-atletik-maraton-palestina-mencetuskan-maraknya-dorongan-untuk-gerakan-dibanding-politik
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama berkomentar disini